Jumat, 05 Februari 2010

FENOMENA PARADOKSAL GLOBALISASI
Oleh : Ibnu Fatah


Selama ini, globalisasi cenderung dimaknai dalam frame positif. Namun, sebenarnya terdapat dampak negative dari globalisasi yang luput untuk dibicarakan dan cenderung tersimpan dalam kotak kegelapan. Studi yang dilakukan oleh beberapa pakar ekonomi politik, menunjukkan kenyataan bahwa seiiring dengan proses globalisasi ternyata diikuti pula oleh semakin meluasnya ketidakmerataan distribusi pendapatan di antara negara bangsa, tingkat pengangguran yang semakin meluas, degradasi lingkungan, dan akibat-akibat merusak lainnya dari globalisasi, seperti kehancuran ekonomi banyak negara akibat tidak adanya regulasi aliran modal global. Thailand, Indonesia, Filipinan, dan Korea Selatan serta beberapa negara Amerika Latin seperti Brasil dan Argentina adalah contoh-contoh negara yang pernah terkena dampak negative ini, dan mungkin sampai sekarang sebagian negara-negara tersebut masih merasakan.

Konsep globalisasi telah menjadi sangat populer dan sering dirujuk orang. Namun hingga saat ini tidak ada definisi tunggal untuk istilah tersebut, dan beberapa diantaranya cenderung dilebih-lebihkan sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Belum lagi konsep globalisasi seringkali didefinisikan para pakar menurut sudut pandang disiplin ilmu masing-masing. Pada akhirnya harus diakui bahwa globalisasi merupakan fenomena yang kompleks dan dampak yang ditimbulkan menyentuh ke dalam hampir semua aspek kehidupan manusia sehingga suatu definisi tunggal barangkali tidak akan pernah mampu menggambarkan fenomena yang teramat kompleks tersebut. Menyoroti kondisi seperti itu, Penulis tertarik untuk membahasnya dalam tulisan essay berikut ini. Diakui bahwa sebagian besar tulisan bersumber pada buku 'Jebakan Globalisasi, Serangan Atas Demokrasi dan Kesejahteraan' tulisan 2 wartawan koran terkenal Jerman Der Speigel, yakni Hans Peter Martin & Harald Schumann, yang diterbitkan oleh PT Hasta Mitra dan Institute for Global Justice tahun 2004.

Fenomena Globalisasi
Selama lebih dari dua dekade belakangan, dunia berubah dengan cepat. Perubahan-perubahan tersebut menyentuh hampir di setiap sendi kehidupan. Banyak pakar menyebut fenomena ini sebagai globalisasi yang ditandai oleh integrasi, interdependensi, dan kesalinghubungan antarnegera bangsa. Globalisasi ini muncul bersamaan dengan kebangkitan kembali kaum neoliberalisme atau kelompok Kanan Baru di Amerika Serikat dan Eropa. Akibatnya, pengagungan terhadap mekanisme pasar bebas dan marginalisasi peran atau campur tangan negara dalam urusan ekonomi sedapat mungkin dihilangkan. Ini karena campur tangan negara yang terlalu besar dalam bidang ekonomi, sebagaimana ditunjukkan oleh paham Keynesian, hanya akan mendistorsi pasar dan membuat ekonomi dunia tidak efektif. Oleh karena itu, negara dengan cara apapun harus dikeluarkan dari pasar.
Proses globalisasi telah mengintegrasikan negara-negara bangsa menuju ke arah ’state borderless’ sebagaimana diyakini oleh Ohmae, dan karena kemunculann aktor-aktor non-state (baca : non-teritorial) maka pembahasan negara bangsa di era globalisasi menjadi tidak lagi relevan. Alasan yang diberikan adalah banyak persoalan kontemporer saat ini tidak dapat dipelajari secara memadai hanya pada tingkatan negara bangsa, dalam arti masing-masing negara bangsa dan hubungan-hubungan internasional. Namun harus lebih dipahami dalam proses global, dimana kekuatan-kekuatan global di luar negara bangsa seperti perusahaan-perusahaan trans-nasional dan lembaga-lembaga ekonomi global (GATT, IMF, WTO, ADB, AFTA, NAFTA, Uni Eropa, dll), budaya global atau pengglobalan sistem-sistem ideologi/ keyakinan dari berbagai macam tipe atau kombinasi dari semua ini, yang membuat keberadaan negara bangsa menjadi semakin diragukan atau dianggap tidak penting.
Dalam melihat globalisasi, sebagian pakar seperti David Held at. All (1999) membedakannya menjadi 3 kelompok, yakni kelompok globalis atau hiperglobalis yang optimistik, kelompok skeptis dan yang terakhir kelompok transformasionalis. Masing-masing kelompok ini berbeda dalam melihat globalisasi dan karenanya berbeda pula memberikan rekomendasi menyangkut sikap yang harus diambil dalam menghadapi globalisasi.
Paradok Globalisasi dan Pertentangan Peradaban
Globalisasi adalah suatu keadaan dimana dunia terlihat dan terasa sempit akibat arus informasi teknologi dan transportasi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengakibatkan perkembangan dan perubahan dunia yang sangat cepat. Apalagi setelah berakhirnya Perang Dingin antara blok Amerika dan blok Uni Soviet, peta politik dunia berubah. Di dalam perubahan dunia yang sangat cepat dan peta politik dunia yang berubah itu, setiap bangsa dituntut untuk secara pandai dan bijak menghadapinya agar tidak terlindas kemajuan jaman. Jargon yang santer didengung-dengungkan adalah ”dunia sedang menjadi satu dan mengecil – global village”. Namun, di dalamnya kita masih temukan fenoma-fenomena yang paradoksal atau anomali. Di satu sisi mengisahkan hal-hal yang serba hebat mencengangkan, di sisi lain masih terdengar kisah-kisah yang memprihatinkan, atau bahkan kecenderungan yang menakutkan.
Cobalah membayangkan beberapa kejadian berikut ini. Di Amerika Serikat, turun temurun penduduk imigran telah lama bermukim di sana, namun masih saja berjuta orang Hispanik hingga generasi kedua dan ketiga kini menolak bahasa Inggris. Begitu juga di Kanada dan Belgia, sebagian warga negaranya terjebak dalam konflik antar kelompok rumpun bahasa. Sukuisme menguat di mana-mana, dan di banyak wilayah menjadi ancaman karena nasionalisme sempit atau chauvinisme daerah.
Di bidang ekonomi, kesenjangan tingkat kesejahteraan yang melebar telah mendorong sebagian kelompok masyarakat mencari jalan keluar dengan tuntutan untuk memisahkan diri dan menonjol-nonjolkan perbedaan (baca : separatisme). Dalam waktu relatif singkat, lusinan negara baru lahir akibat perpecahan seperti yang terjadi di bekas Uni Sovyet dan negara-negara Balkan. Lima puluh tahun setelah beridirnya Republik Italia, 50% dari jumlah penduduk yang tinggal di daerah Ventimiglia dan Triest mendukung gerakan separatis ”Padania’ merdeka. Di wilayah Karibia, pulau-pulau tempat berlibur yang damai dari St. Kitts dan Nevis hendak mengakhiri federasi mereka. Di Indonesia, sebagian rakyat Aceh dan Papua nyaring menyuarakan keinginan melepaskan diri. Begitu juga dengan rakyat Moro di Filipina, suku Tamil di Srilangka, di wilayah Thailand Selatan dan masih banyak yang lain.
Pembangunan wilayah dengan menggunakan model pusat-pusat pertumbuhan telah menciptakan wajah dunia yang dipenuhi dengan pulau-pulau kemewahan di lautan kekumuhan, terisolasi dan hanya mengakibatkan ketegangan-ketegangan sosial akibat semakin lebarnya jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin. Dunia masa depan adalah dunia yang kusam, penuh dengan kota-kota besar dan daerah-daerah kumuh yang besar pula, dimana jutaan orang hidup miskin.
Pada waktu bersamaan, terjadi pula gejala menurunnya kesetiakawanan sosial. Ide-ide untuk bantuan kerjasama internasional pelan-pelan menghilang. Setiap negara agaknya hanya memikirkan kampung halamannya sendiri. Bantuan negara-negara industri ke negara-negara dunia ketiga semakin hari semakin menurun. Sebaliknya, beban hutang negara-negara berkembang semakin melambung tinggi karena bunga pinjaman yang tinggi, atau karena perbedaan mata uang (baca : selisih kurs) serta inflasi yang tidak terhindarkan. Dalam waktu sepuluh tahun saja, besarnya hutang negara-negara berkembang ini bertambah dua kali lipat.
Dialog utara – selatan sudah tamat, seperti tamatnya konflik Timur dan barat. Ide tentang perkembangan ekonomi bersama sudah menguap, tidak ada lagi kata ’bersama’. Kata-kata kunci seperti Utara – Selatan, negara dunia ketiga, pembebasan, pembangunan, kemajuan – semua kata kunci tersebut sudah tidak bermakna lagi.
Tak kalah mengerikan adalah kisah pembantaian manusia karena perang saudara. Tidak seperti peperangan di abad ke-19 dan awal abad ke-20, kebanyakan peperangan di masa depan tidak akan berlangsung di antara negara-negara berdaulat, namun cenderung terjadi di dalam suatu negara akibat perang saudara. Sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, hanya 2 saja dari 50 konflik bersenjata di seluruh dunia yang mengikuti pola perang antar negara, yakni perang antara Peru – Ekuador dan Libanon – Israel dengan korban jiwa yang masih ’proporsional’. Kontras sekali dengan perang saudara di Afrika Selatan, labih dari 17.000 tewas akibat kekerasan selama berakhirnya apartheid, lebih banyak daripada selama 30 tahun perjuangan bersenjata terhadap apartheid itu sendiri. Bersama dengan Rwanda, Burundi, Zaire dan Malawi, negara-negara Afrika lainnya telah identik dengan perang suku dan perang saudara.
Di bidang pembangunan ekonomi, sudah menjadi rahasia umum bahwa seperlima negara-negara kaya dan maju menguasai 84,7% dari GNP dunia. Lebih detailnya adalah rakyat negara-negara maju tadi menguasai 84,2% dari seluruh perdagangan dunia dan menguasai atau memiliki 85,5% dari seluruh tabungan-tabungan uang dalam negeri. Hampir 20% negara-negara kaya mengkonsumsi 85% dari seluruh kayu dunia, 75% logam yang sudah diproses dan 70% dari seluruh energi dunia. Sejak tahun 1960-an jurang antara yang paling kaya dengan yang paling miskin telah menjadi dua kali lipat. Dan hal ini membuktikan bahwa kebangkrutan janji-janji keadilan atau kejujuran yang ditawarkan oleh globalisasi pembangunan ekonomi.
Menarik untuk disimak thesis yang dikemukakan oleh Samuel Huntington (1993), profesor dari Universitas Harvard, yakni tentang pertentangan peradaban (The Clash of Civilization). Menurut dia, masa depan tidak akan ditentukan oleh suatu konfrontasi antara teori-teori sosial dan tatanan-tatanan politk, seperti di masa Perang Dingin, melainkan oleh konflik-konflik berdasarkan agama dan kebudayaan di antara peradaban-peradaban. Thesis Huntington ini mengkonfirmasi ketakutan-ketakutan yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu, bahwa Eropa akan diserang oleh bangsa Hun – bangsa Turki atau Rusia, tergantung konteks jamannya. Namun, apakah ahli strategi Harvard ini benar? Akankah Barat yang demokratis akhirnya bentrok dengan seisi dunia, dengan suatu persekutuan para pemimpin otoriter yang anti demokrasi?
Akhirnya memang harus mengutip kembali pernyataan Boutros Boutros Gali, mantan Sekjen PBB. Dewasa ini kita hidup di tengah-tengah suatu revolusi yang meliputi seluruh dunia. Planet kita sedang berada dalam cengkeraman dua kekuatan yang saling berhadapan, globalisasi dan fragmentsi.
Faham Skeptisme
Sebagaimana disebutkan di muka, para pembaca yang sejak awalnya tidak memiliki kerangka berpikir yang utuh tentang fenomena globalisasi kemungkinan besar akan terjebak ke dalam skeptisme yang ‘berlebihan’.
Kelompok skeptisme antara lain dipelopori oleh Hirts dan Thompson, yang beberapa pendapatnya banyak dikutip para pakar. Yang paling penting dari aliran skeptisme adalah serangannya terhadap kaum hiperglobalis menyangkut peran negara bangsa dalam mengelola pembangunan ekonomi. Mereka menganggap bahwa tesis kaum hiperglobalis secara fundamental cacat dan secara politk adalah naïf karena menganggap remeh kekuasaan pemerintah nasional (baca : negara) dalam mengatur kegiatan ekonomi internasional.
Memang diantara kedua kutub ekstrim globalisasi tersebut, terdapat pandangan moderat yang menyatakan bahwa proses globalisasi yang tengah berlangsung saat ini secara historis belum pernah terjadi sebelumnya dimana tak lama lagi pembedaan antara internasional dan domestik, hubungan-hubungan internal dan eksternal tidak lagi menjadi jelas (kaum transformasionalis). Dengan demikian, globalisasi saat ini sesungguhnya sedang menyusun kembali aspek-asoek kekuasaan, fungsi dan otoritas negara bangsa. Pandangan kelompok moderat ini sedikit berbeda dengan kelompok skeptis karena meskipun peran negara bangsa atau pemerintah nasional masih diperlukan, namun peran tersebut hadir dalam bentuk yang berbeda. Mereka berpendapat peran negara hendaknya diletakkan sejajar dengan peran lembaga-lembaga internasional dan juga perusahaan-perusahaan internasional.
Salah satu prediksi masa depan yang muram adalah isyu pengangguran yang akan terus bertambah. Kelompok skeptis meramalkan bahwa akan ada tambahan pengangguran tak terduga sebagai konsekuensi dari rasionalisasi dan efisiensi perusahan-perusahaan yang mengadopsi tekonologi. Dikatakan bahwa dengan hanya mempekerjakan 20% karyawannya saat ini, jumlah itu sudah cukup untuk mempertahankan perekonomian dunia. Sehingga hanya dengan 1/5 dari jumlah karyawan yang ada, sebenarnya sudah cukup untuk memproduksi barang dan jasa bagi 4/5 (80%) lainnya.
Kolumnis terkenal Jerman, Jeremy Rifkin menulis buku ‘Das Ende Der Arbeit’ – tamatnya pekerjaan, untuk menggambarkan 80% penduduk dunia saat ini, dimana pun ia berada, akan mendapatkan masalah besar, yakni harus kehilangan pekerjaan. Ia bahkan menggunakan kalimat yang agak sinis, ‘to have luch or be lunched’, masih bisa makan atau siap untuk dimakan atau sengsara.
Para pembicara dalam konferensi tersebut di atas menggambarkan sebuah model atau tatanan dunia masa depan adalah dunia 20 : 80, artinya sebuah masyarakat dunia dengan hanya 1/5 berada di bagian atas piramida dan sisanya 4/5 yang tiada memiliki kesempatan dan harus rela berada di dasar piramida. Merekalah ini yang kemudian harus dihidupi dan dihibur agar tidak menimbulkan keresahan melalui ‘tittytainment’.
Istilah tittytainment dikenalkan oleh HZ Brezenski, mantan penasehat keamanan Presiden Jimmy Carter, yang diambilnya dari bahasa slang AS yang artinya meneteki (menyusui). Dengan demikian tittytainment merupakan gambaran upaya memberi ‘hiburan’, sandang, pangan, papan dan kebutuhan dasar lainnya bagi 4/5 penduduk dunia yang frustasi tadi agar dapat terus dikontrol perasaannya untuk tidak meledak dan menimbulkan keresahan.
Beberapa fenomena yang dengan jelas mendukung konstantasi masa depan yang suram. Salah satunya adalah gambaran tentang situasi dunai masa depan yang seolah-olah kembali ke jaman pra modern. Pada tahun-tahun 1990-an, bangsa-bangsa Eropa mengakhawatirkan datangnya sebuah masyarakat 2/3, tetapi itu tidak melukiskan bagaimana kesejahteraan dan posisi sosial akan dibagi-bagikan. Model dunia baru di masa mendatang adalah sebuah dunia 20 : 80, sebuah masyarakat dengan yang seperlima tertarik ke atas, dan mereka yang tiada diberi tempat dan harus dijinakkan dengan tittytainment seperti diceritakan sebelumnya. Apakah situasi seperti itu merupakan gambaran yang berlebihan?
Sebagai gambaran konkret, diceritakan keadaan negeri Jerman pada tahun-tahun pertengahan 1990-an. Lebih dari enam juta orang pencari kerja tidak mendapatkan pekerjaan tetap – angka pencari kerja ini merupkan jumlah terbesar sejak Republik Federal Jerman diirikan. Pendapat bersih rata-rata penduduk Jerman bagian barat menurun selaam 5 tahun terakhir. Dan ini baru merupakan awal, menurut laporan-laporan dari kalangan pemerintah, para ahli ekonomi dan para pengusaha dan berbagai departemen penelitian. Para pakar ekonomi Jerman memperkirakan bahwa produksi barang-barang hanya akan memberi pendapatan untuk hidup beberapa persen dari penduduk yang bekerja. Kecenderungan-kecenderungan serupa juga terjadi di Austria, dilaporkan 10.000 pekerjaan industri hilang setiap tahunnya dan pengangguran diperkirakan mencapai 8% pada akhir dasawarsa 1990-an, meningkat dua kali lipat dibanding awal tahun 1990-an.
Penjelasan bagi kemerosotan ini yang digemari oleh para ahli ekonomi dan politik selalu berkulminasi pada kata yang sama, yaitu”globalisasi”. Globalisasi tidak bisa dihindari lagi telah mendorong semakin ganasnya persaingan global, termasuk dalam lowongan pekerjaan, sehingga perusahaan-perusahaan Jerman hanya akan menciptakan lapangan-lapangan kerja baru di negeri-negeri asing yang lebih murah. Mereka lebih tertarik untuk melakukan relokasi industri daripada mencoba bertahan mati-matian di negeri asalnya. Sehingga kata kuncinya adalah penyesuaian ke bawah. Setiap warga negara yang bekerja dituntut agar mau berkorban mensubsidi rekan-rekannya dengan membayar pajak setinggi-tingginya. Globalisasi itu sendiri disebabkan oleh pesatnya perkembangan teknologi informatika dan rendahnya biaya transportasi.
Gugatan Negara Kesejahteraan
Dampak globalisasi akan selalu menjadi bahan perbincangan masyarakat dunia. Di negara-negara maju seperti, Jerman, Belanda, Austria dan negara-negara Skandanavia lainnya, sudah mulai tampak kecenderungan semakin banyak orang yang sedikit bekerja namun menerima gaji terlalu tinggi. Kelompok ini juga mendapat kesempatan yang cukup banyak untuk berlibur dan bahkan sering tidak masuk bekerja karena alasan sakit. Di mata para pakar ekonomi dan politik, masyarakat negara-negara barat dengan tingkat tuntutannya yang tinggi telah bertubrukaan atau berbenturan dengan pengingkaran diri yang khas bagi masyarakat Asiatik.
Di kawasan negara-negara industri maju tersebut, dipraktekkan model negara kesejahteraan (welfare state) dimana pemerintah bertanggungjawab memberikan jaminan-jaminan sosial rakyatnya guna mengurangi kesenjangan ekonomi. Rata-rata tingkat upah atau gaji yang dibayarkan cukup besar. Namun, kecenderungan yang mulai tampak saat ini ternyata gaji yang dibayarkan dirasakan sudah terlalu tinggi dengan jam kerja yang semakin sedikit karena banyaknya hari libur dan ijin. Akibatnya adalah tuntutan terhadap perusahaan semakin tinggi, sehingga perusahaan gagal atau tidak mampu untuk membayar. Model negara kesejahteraan seperti yang ada di daratan Eropa, akan terlalu mahal, bahkan untuk mereka sendiri. Negara kesejahteraan pada akhirnya akan mudah bangkrut, dan dianggap telah berakhir kegunaannya. Negara kesejahteraan telah menjadi suatu ancaman bagi masa depan mereka dan ketidakadilan sosial semakin tidak dapat dihindarkan lagi karena gejala yang muncul adalah keharusan untuk memberi subsidi bagi mayoritas penganggur. Suara-suara keras yang muncul adalah teriakan ’daratan Eropa telah hidup di luar kemampuannya’, atau ’Eropa diguncang gelombang baru pengencangan ikat pinggang’. Setiap orang pada akhirnya harus bersedia berkorban.
Pada kasus negara Jerman, seperti kata Norbert Walter, salah satu Direktur di Deutsche Bank, negara kesejahteraan Jerman ternyata sudah menjadi terlalu mahal untuk dipertahankan. Hal tersebut disebabakan sudah terlalu banyak warga yang mempunyai mentalitas lebih memilih jaminan-jaminan sosial ketimbang ia harus bekerja keras. Sekitar 152 bentuk jaminan sosial yang berbeda-beda telah diorganisasikan dan dikelola secara kacau balau, pengadministrasiannya sangat mahal dan acapkali dipermainkan oleh para pengklaim palsu. Sedangkan yang benar-benar berhak dan membutuhkan malah tidak mendapatkan jaminan sosial minimum
Sesungguhnya para pejuang yang ingin mempertahankan negara kesejahteraan sosial di daratan Eropa hanya akan berjuang melawan angin saja. Karena argumentasi musuh mereka keliru. Relokasi industri dari daratan Eropa ke kawasan Asia atau Amerika bukan menciptakan lapangan kerja baru, melainkan mereka hanya membeli sebagian besar perusahaan setempat untuk lebih menyebarluaskan tenaga kerja mereka dan untuk meliputi pasar-pasar regional. Sebabnya juga bukan dikarenakan biaya-biaya sosial telah meroket, namun sebaliknya adalah kenyataan GNP rata-rata negara-negara industri barat telah menurun. Dari Swedia, Austria sampai Spanyol, terdapat program yang pada pokoknya sama untuk mengurangi pengeluaran-pengeluaran publik, pemangkasan upah-upah sesungguhnya dan penghapusan pelayanan-pelayanan sosial. Protes dan perlawanan untuk mempertahanankan negara kesejahteraan dimana-mana akhirnya berakhir dalam kepasrahan.
Setelah reformasi abad sosial demokratis, terbukalah jalan bagi suatu kontra reformasi berdimensi sejarah. Gerak ke masa depan merupakan suatu gerak mundur. Para pemilik perusahaan besar, seperti Nokia, Siemens dan BMW misalnya, malah mengeluarkan pernyataan ’angin persaingan bebas telah berkembang menjadi angin ribut, dan badai yang sesungguhnya masih ada di depan kita’. Orang mungkin berpikir itu merupakan gejala yang lumrah dan wajar dari dampak globalisasi. Namun ternyata integrasi ekonomi global sama sekali bukan suatu proses alamiah, ia dikendalikan oleh suatu kebijakan/ politik yang tak mengenal kompromi.
Dalam setiap perjanjian dan dalam setiap perundang-undangan baru, selalu keluar keputusan-keputusan pemerintah dan atau parlemen yang menyingkirkan rintangan-rintangan bagi pasar bebas. Nilai dari dihapuskannya pengawasan mata uang Eropa hingga perluasan yang terus menerus dari organisasi perjanjian dagang dunia (GATT). Para politisi yang berkuasa dari negara-negara industri barat telah secara sistemik justru melahirkan situasi yang kini tidak dapat mereka tanggulangi. Mengerikan sekali, bukan?
Bercermin dari kekhawatiran gagalnya negara kesejahteraan akibat globalisasi, sangat menarik jika kita kaitkan dengan ajakan Presiden SBY baru-baru ini tentang kembali kepada cita-cita para pendiri bangsa 60 tahun yang lalu. Beliau mengutip sebagian bunyi alinea ke-4 Mukadimmah UUD 1945 yang memuat tentang tujuan dan cita-cita nasional terwujudnya negara kesejahteraan Indonesia. Menurut Esping Andersen, negara kesejahteraan dibangun atas dasar nilai-nilai sosial, seperti (1) kewarganegaraan sosial, (2) demokrasi penuh, (3) sistem hubungan industrial modern, dan (4) hak atas pendiikan dan perluasan pendiikan massal yang modern.
Produksi dan penyediaan kesejahteraan warga negara tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada kekuatan pasar. Sehingga ada 3 pilar kebijakan yang menjadi resep keberhasilan negara kesejahteraan, yakni kebijakan makro-ekonomi yang ’Keynesian’, kebijakan penciptaan lapangan kerja yang penuh dan daya beli yang tinggi dari warga negara, serta program-program jaminan sosial. Kebijakan pajak yang tinggi dibarengi dengan belanja sosial yang tinggi menjadi ciri khas negara kesejahteraan. Di negara-negara Eropa, perolehan pendapatan pemerintah dari pajak dan non pajak bisa mencapai 30% dari GNP. Bahkan di negara-negara Skandanavia mencapai 50%. Jika dibandingkan dengan Indonesia saat ini, kita baru mencapai kurang dari 20%. Sedangkan belanja sosial hanya kurang dari 4%. Dengan tingkat pencapaian seperti itu, akankah kita bisa mewujudkan negara kesejahteraan?
Negara kesejahteraan barangkali masih menjadi mimpi kita semua. Dan impian tersebut akan tetap menjadi mimpi dan sulit diwujudkan jika Indonesia gagal mengatasi 2 kendala pokok. Kendala pokok pertama adalah terlalu kecilnya anggaran untuk belanja sosial. Pekerjaan rumah besar adalah melakukan pembalikan prioritas anggaran, dari pembayaran utang ke belanja kesehatan, pendidikan, dan penciptaan lapangan kerja. Kendala kedua adalah membuat birokrasi yang andal dan bersih. Negara kesejahteraan memerlukan birokrasi seperti itu untuk mendukung kegiatan ekonomi dan menyediakan pelayanan umum yang luas dan bermutu. Birokrasi yang terlalu berkuasa tetapi tidak andal dan tidak bersih, juga perizinan usaha yang berbelit akan mematikan ekonomi dan melumpuhkan pelayanan-pelayanan umum.
Di sisi lain birokrasi yang andal dan bersih sangat diperlukan oleh negara kesejahteraan untuk dapat memiliki dana yang cukup untuk membiayai belanja-belanja sosial. Tantangan globalisasi bagi Indonesia adalah bagaimana birokrasi bisa berjalan dengan baik? Indonesia memerlukan kebijakan yang tepat menghadapi globalisasi. Dasarnya adalah pemahaman keterkaitan globalisasi dengan kesejahteraan publik, apakah menguntungkan (better off) atau merugikan (worse off)? Dan yang paling penting adalah jangan mengkambinghitamkan globalisasi. Tetapi manfaatkanlah ia secara obyektif sebagai kesempatan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Kecenderungan Pasar Bebas (Neoliberalisme)
Doktrin yang selalu digombor-gemborkan oleh penganut pasar bebas adalah tesis dasar yang mengatakan bahwa pasar bebas itu bagus, dan campur tangan negara atau pemerintah nasional itu buruk. Kebanyakan pemerintahan Neo-liberal Barat menjadikan dogma ini azas panduan politik mereka pada tahun-tahun 1980-an. Mereka ramai-ramai mengkampanyekan gerakan deregulasi sebagai gantinya pengawasan negara, liberalisasi perdagangan, arus capital serta privatisasi perusahaan-perusahaan negara. Negara-negara Barat tadi percaya bahwa pasar dan organisasi-organisasi ekonomi internasional ada di bawah kekuasaan mereka, seperti WTO, Bank Dunia, IMF, dan lain sebagainya. Dengan instrumen-instrumen itulah mereka berjuang untuk kebebasan capital yang masih terus berlanjut hingga sekarang.
Sebenarnya yang terjadi adalah mesin “turbo-kapitalisme” dalam skala global sedang bekerja menghancurkan dirinya sendiri dengan menggerogoti stabilitas demokratik dan kemampuan negara untuk berfungsi. Laju perubahan dan pembagian kembali kekuasaan dan kesejahteraan (redistribution of power and welfare/ prosperity) mengikis entitas-entitas sosial lama secara lebih cepat daripada yang dapat dikembangkan oleh orde/ tatanan yang baru.
Negeri-negeri yang sejauh ini menikmatai kesejahteraan, kini sedang menghabiskan substansi sosial dari kohesi mereka secara lebih cepat daripada mereka menghancurkan lingkungan. Para ahli ekonomi dan politisi neo-liberal mengkhotbahkan “model Amerika Serikat” kepada dunia, namun ia secara mengerikan menyerupai propaganda rezim eks Uni Sovyet yang telah gagal. Pembusukan sosial kini tiada yang lebih nyata daripada di tanah air kapitalis Amerika Serikat sendiri. Kejahatan meluas hingga mencapai tingkatan ‘epidemic’, sehingga di Kalifornia – yang dilukiskan sebagai daerah dengan kekuatan ekonomi ke tujuh terbesar di atas bumi – pengeluaran-pengeluaran untuk penjara-penjara secara keseluruhan ternyata lebih besar dibandinmgkan anggaran untuk pendiikan. Lebih dari 10% atau lebih dari 30 juta orang Amerika Serikat hidup di gedung-gedung tinggi dengan penjagaan ketat. Biaya yang dibutuhkan untuk membayar petugas keamanan swasta tadi, jumlahnya 2 kali lipat dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan negara untuk membiayai polisi. Bagi ratusan juta orang, kemajuan yang mengglobal sama sekali bukanlah kemajuan.
Mencermati gejala paradok globalisasi, seolah-olah kita diingatkan kembali tentang malapetaka global sekitar tahun 1930-an. Majalah terkemuka Inggris, The Economist, yang terkenal pro-kapitalis menulis komentarnya sebagai berikut.;
”Masalah paling besar dari generasi kita ... adalah bahwa keberhasilan di taraf kehidupan ekonomi telah sedemikian jauh melampau kemajuan kita di taraf politik, sehingga ekonomi dan politik kita senantiasa berbenturan satu sama lain. Di bidang ekonomi, dunia telah diorganisasi menjadi suatu kesatuan aktifitas tunggal (baca : pasar bersama) yang meliputi segala-galanya. Di bidang politik, ia telap tetap ... terceraiberai. Ketegangan antara kedua kecenderungan antitetikal telah menghasilkan serangkaian sentakan dan kejutan serta pukulan dalam kehidupan sosial manusia”.
Perampingan atau pemutusan hubungan kerja akibat ekonomi dengan kemampuan dan teknologi tinggi menggerus habis lapangan pekerjaan masyarakat makmur dan menjadikan para konsumennya berlimpahan. Satu petaka ekonomi dan social yang sampai saat ini belum diketahui dimensi-dimensi kedahsyatannya sedang menampakkan diri di cakrawala. Tidak peduli apakah di sektor usaha produksi otomotif atau computer, kima atau elektronika, jasa komunikasi atau pos, perdagangan eceran atau keuangan, kapan saja barang-barang atau jasa-jasa diperdagangkan secara bebas menyeberangi batas negara, para pekerja tampaknya tenggelam ke dalam rawa devalorisasi atau penurunan nilai dan rasionalisasi.
Di Jerman, dalam waktu 3 tahun saja, lebih dari sejuta lapangan kerja industri lenyap karena alasan efisiensi. Di negara-negara maju lainnya terjadi keadaan yang sama. Mulai dari AS hingga Australia, Inggris hingga ke Jepang, kesejahteraan masyarakat dengan cepat berkurang. Zaman telah berubah. Para wartawan, peneliti dan editor media massa merasa tertekan oleh dunia tittytainment. Mereka tidak dapat lagi berharap akan mendapatkan fasilitas dan insentif yang berlimpah untuk sebuah penulisan berita-berita utama karena ketatnya kompetisi antar media serta semakin mahalnya kertas. Para pekerja muda yang baru memulai karirnya harus puas dengan kontrak-kontrak tingkat flat atau bayaran murah per term. Para penerbit buku dan pembuat film berebut memproduksi buku dan film dengan biaya murah.
Diperkirakan banyak lapangan kerja yang aman (baca : status permanen sbg karyawan tetap) akan hilang digantikan oleh pekerjaan paruh waktu, pekerjaan sementara menurut panggilan/ kontrak, dan berbagai bentuk pekerjaan berupah-rendah. Sejumlah 15 juta lagi pekerja krah putih dan krah biru di Uni Eropa harus mencemaskan pekerjaan paruh waktu mereka dalam tahun-tahun mendatang ini. Yang bisa bertahan adalah mereka yang terbaik dan yang paling kuat, seperti analogi teori Darwin tentang seleksi alam. Maaf saja jika yang lemah kemudian harus tersingkir seperti gambaran kerasnya hukum rimba. Dampak dari perubahan situasi kerja dapat dirasakan oleh semua orang, bahkan juga oleh orang yang pekerjaannya sendiri tampaknya masih aman. Ketidak-pastian dan ketakutan akan hari depan terus meluas, lapisan sosial sedang terkoyak.
Solusi Yang Ditawarkan
Pertanyaan penting yang kemudian harus dijawab adalah, bagaimanakah mencegah terciptanya masyarakat 20 : 80 yang begitu menyesakkan dan mengerikan seperti digambarkan di depan? Adakah resep yang jitu untuk mencegahnya? Para pakar peserta konferensi di San Francisco, AS bersepakat bahwa tugas utama masyarakat dunia adalah mengendalikan pasar dunia dari arah bunuh diri ke jalan-jalan sosial yang lebih demokratik dan menggantikan globalisasi ketidak-adilan dengan perkembangan ke arah kesetaraan sosial yang lebih besar.
Cetak biru dan strategi untuk menghentikan kecenderungan sebuah masyarakat 20 : 80 sudah ada. Pertama, membatasi kekuasaan politik para pelaku di pasar-pasar uang. Negara-negara maju dapat bersama-sama menurunkan suku bunga bank sentral sebagai suatu jalan permulaan dalam memperluas kebebasan pengusaha dan mempromosikan pertumbuhan dan lapangan kerja. Kedua, memberlakukan reformasi pajak sehingga berorientasi ekologi. Ini merupakan satu-satunya jalan untuk menghentikan eksploitasi berlebihan sumberdaya alam dari semua kegiatan ekonomi yang merampok peluang-peluang hidup generasi masa depan. Ketiga, pencarian sumber-sumber pendapatan baru mesti dilakukan. Untuk itu, pendapatan atau penghasilan dari bunga bank tidak dapat lagi bebas pajak. Selain itu, pajak pertambahan nilai (VAT) atas barang-barang mewah mesti tetap diberlakukan, sehingga menjamin bahwa beban pajak akan terbagi lebih adil.
Namun sebenarnya strategi di atas baru sebatas konsep, belum dapat dioperasionalkan karena masih diperlukan aktor atau kekuatan yang mampu menjadi motor penggerak. Dan satu-satunya negara yang dengan kekuatan sendiri masih dapat melakukan suatu perubahan global adalah Amerika Serikat, negara adiaya ekonomi dan militer saat ini. Sayangnya harapan akan adanya inisiatif dari AS untuk menjinakkan kekuatan-kekuatan pasar agar bisa menguntungkan masyarakat dunia sangat tipis sekali, bahkan mendekati kemustahilan. Hal ini juga sejalan dengan tradisi AS, karena AS yang ’tanpa pamrih’ membantu negara-negra lain menanggulangi masalahnya sebenarnya tidak akan pernah ada dalam kenyataan. Pemerintah AS, apapun warnanya, selalu mengutamakan kepentingan nasionalnya.
Karena negara kesejahteraan AS tampaknya tidak dapat lagi diandalkan, maka alternatif yang paling mungkin adalah negara-negara Eropa sebagai satu kesatuan. Salah satu kekuatan Eropa adalah entitasnya sebagai suatu uni politik ekonomi dengan kira-kira 400 juta konsumen akan mempunyai kemampuan untuk mengembangkansuatu kebijakan ekonomi baru yang lebih dekat pada azas-azas John Maynard Keynes dan Ludwig Erhand daripada azas-azas Milton Friedman dan Frederich von Hayek. Dalam kapitalisme global yang tiada terkendali, hanya suatu Eropa yang bersatu dapat mendesakkan ketentuan-ketentuan baru yang memberikan suatu keseimbangan sosial yang lebih besar dan restrukturisasi ekologi.
Selanjutnya, langkah-langkah apakah yang kemudian harus diambil oleh negara-negara Eropa? Berikut ini adalah 10 cara yang harus dilakukan negara-negara Eropa guna mencegah masyarakat 20 : 80.
Pertama, keikutsertaan masyarakat secara luas sehingga terwujud masyarakat Uni Eropa dengan kehidupan demokrasi yang lebih dinamis/ hidup dan mampu bertindak sebagai pelopor bagi negara-negara di kawasan lainnya. Dengan demikian ada proses demokratisasi transnasional, melewati batas-batas fisik negara.
Kedua, penguatan dan Eropanisasi masyarakat madani. Kerjasama dan kerja jaringan lintas perbatasan dapat memberikan jangkauan lebih besar pada komitmen berjuta-juta orang. Menjadi hak setiap orang untuk ikut serta dalam menentukan masa depan nantinya seperti apa. Adalah baik untuk berpikir secara global dan bertindak secara lokal, tetapi adalah lebih baik untuk bertindak bersama-sama melintasi batas-batas negara.
Ketiga, memberlakukan kesatuan mata uang seluruh Eropa. Penanggulangan fragmentasi moneter melalui suatu mata uang bersama, Euro, dapat meluruskan hubungan kekuatan-kekuatan antara pasar-pasar uang dan negeri-negeri Eropa. Kurs-kurs tukar dapat distabilkan dan nilai produk-produk Eropa dalam mata uang lain dapat dirundingkan dengan mitra seberang lautan daripada tetap bergantung pada bank sentral AS dan para pedagang uang di London, New York dan Singapura.
Keempat, perluasan UU perpajakan Uni Eropa. Inilah satu-satunya jalan untuk mengakhiri persaingan tidak sehat di dalam Uni Eropa mengenai negeri mana yang mempunyai kebijakan pajak perusahaan yang terendah dan yang dapat membujuk para pembayar pajak dengan jumlah terbesar. Perekonomian Eropa kini begitu terintegrasi hingga politik perpajakan sangat mendukung kebijakan ini pada suatu tingkat di seluruh Eropa.
Kelima, pengenaaan pajak atas transaksi mata uang dan atas kredit Euro pada bank-bank bukan Eropa. Kerusakan ekonomi yang ditimbulkan oleh fluktuasi kurs tukar spekulatif akan sangat berkurang melalui pengenaan pajak atas transaksi-transaksi mata uang dan pinjaman-pinjaman uang, seperti yang disarankan oleh ahli ekonomi AS, James Tobin. Pengenaan suatu pajak mata uang juga akan menghasilkan pendapatan/ pemasukan yang sangat diperlukan untuk menunjang negeri-negeri di Selatan yang tak mampu bertahan di dalam pasar-pasar global.
Keenam, pemberlakuan standar-standar minimal ekologi dan sosial untuk perdagangan dunia. Jika Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenakan sanksi-sanksi pada neger-negeri yang para penguasanya terbukti melanggar hak-hak dasar demokrasi dan ekonomi, maka para elit yang tidak demokratik di Selatan akan dipaksa untuk menjalankan suatu kebijakan pembangunan yang sungguh-sungguh membantu negera-negara mereka untuk maju, yakni menjalankan politik pembangnan yang betul-betul memajukan rakyatnya. Ciri-ciri negeri tersebut antara lain terdapat anak-anak di bawah umur yang terpaksa bekerja, kehancuran lingkungan hidup yang sistemik dan upah para pekerja yang sangat rendah karena penindasan-penindasan terhadap serikat buruh – pendek kata merampok sumberdaya alam dan manusia negeri sendiri.
Ketujuh, reformasi pajak ekologi di seluruh Eropa. Pengenaan pajak terhadap penggunaan/ eksploitasi sumberdaya alam dapat mendorong kegiatan ekonomi padat karya dan membatasi meluasnya kerusakan lingkungan hidup. Hasil kerja keras manusia akan dihargai lebih tinggi dan otomatisasi yang boros energi karbon akan menjadi kurang menguntungkan. Restrukturisasi beban pajak juga akan memberio peluang untuk memisahkan pendanaan negara kesejahteraan dari pendapatan pada pegawai.
Kedelapan, pengenaan pajak atas barang-barang mewah. Pengenaan pajak atas barang-barang mewah, seperti rumah-rumah bungalow, limusin, kapal pesiar, pesawat terabng pribadi, perhiasan, kosmetik, dan lain sebagainya, yang dinikmati golongan kaya merupakan hal yang semestinya dilakukan, mungkin hingga mencapai besaran 30%. Golongan orang-orang kaya ini merupakan pemenang dari globalisasi dan telah menikmati kemakmuran lebih dari yang lain, sehingga pantas untuk ikut mendanai belanja-belanja social negara.
Kesembilan, pemberdayaan serikat-serikat buruh Eropa. Kegagalan besar para pengurus serikat buruh Eropa adalah pengabaian mereka untuk membangun organisasi yang kuat pada tingkat Uni Eropa, sehingga mudah diadudomba satu sama lain. Serikat-serikat buruh yang kuat akan mengalahkan lobi-lobi perusahaan-perusahaan besar yang sangat terorganisasi, sehingga kebijakan sosial Uni Eropa dan produk-produk UU yang dilahirkan berpihak pada masyarakat kebanyakan.
Kesepuluh, penghentian deregulasi tanpa perlindungan sosial. Penghapusan monopoli, terutama bidang komunikasi, energi dan sektor-sektor penting yang sebelumnya dilindungi negara terhadap persaingan internasional, seyogyanya ditunda hingga tercapai tingkat pengangguran yang rendah. Selama ini deregulasi yang tergesa-gesa dan ceroboh telah berakibat sangat buruk terhadap pasar kerja. Harus ada jaminan bahwa sekurang-kurangnya lapangan pekerjaan yang diciptakan/ tersedia sama banyaknya dengan yang hilang akibat kebijakan deregulasi tadi.
Penutup
Sebagai kesimpulan, penting untuk diingat bahwa sejarah tidak akan pernah berulang lagi. Namun begitu, peradaban dunia masih menyisakan perang sebagai katup pengaman yang paling mungkin jika konflik-konflik sosial akibat globalisasi menjadi tak tertanggungkan lagi. Barangkali dalam bentuk perang-perang saudara antar etnis atau wilayah. Memang dampak globalisasi tidak harus berakhir dengan bentrokan militer, tetapi hal itu bisa terjadi jika kekuatan-kekuatan ekonomi trans-nasional yang tak terkekang tidak berhasil kita kendalikan bersama.
Tugas utama para pemimpin demokratis saat ini adalah memulihkan negara dan keutamaan politik di atas ekonomi. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka peleburan umat manusia (baca : bersatunya mereka karena globalisasi) secara dramatik melalui kemajuan teknologi dan perdagangan bebas akan segera mengubahnya menjadi kebalikannya dan mengakibatkan suatu benturan global – yang oleh Huttington diistilahkan sebagai ’The Clash of Civilization’. Pada anak cucu kita hanya akan diwariskan cerita dan kenangan akan zaman keemasan tahun-tahun 1990-an, ketika dunia masih tampak tertata rapi dan suatu perubahan arah masih tampak mungkin.
%%&&&%%

Tidak ada komentar:

Posting Komentar